Sisi Gelap Dunia Kedokteran Modern


Realitas mungkin mengejutkan kita. Sebuah penelitian besar dari Lembaga Pengobatan Amerika Serikat tahun 2007 memperkirakan bahwa “kurang dari separuh” prosedur yang dilakukan dokter dan keputusannya mengenai pembedahan, resep obat dan pemeriksaan merupakan keputusan yang pasti dan efektif. Lebih dari separuh merupakan kombinasi dari tebakan, teori dan tradisi, dengan pengaruh kuat dari well, kapitalis. Yup, kita sudah akrab dengan faktor yang satu ini. Mengenai betapa mahalnya harga sewa kamar semalam atau harga obat.

Dokter sering kali sama butanya dengan pasien mereka saat mereka mencoba memberikan resep obat, melakukan pembedahan atau pemberian implan. FDA (Badan Pengawasan Obat dan Makanan Amerika) hanya mengatur obat, alat dan prosedur pemeriksaan, namun ia tidak mengendalikan bagaimana dokter harus menggunakannya dan tidak punya kendali sama sekali pada operasi pembedahan. Kurangnya pengawasan ini berakibat pada kurangnya pengetahuan dokter mengenai efek samping, bahkan dari produk atau prosedur yang telah digunakan bertahun-tahun. Bila sebuah produk baru datang, katakanlah obat jenis baru dan penjualnya menyebutnya obat anti tuberkulosis, dokter kemungkinan kecil tahu perbedaan antara benar atau tidaknya klaim tersebut.

Lambang Kedokteran
Akibatnya, dilaporkan lebih dari 770 ribu orang per tahun di Amerika Serikat mengalami cedera atau kematian karena komplikasi obat, efek samping tak terduga dan akibat lain yang semestinya dapat dihindari bila penelitian yang hati-hati dilakukan sebelum obat tersebut diberikan.

Pengaruh Kapitalisme
Studi tahun 2002 dalam Journal of the American Medical Association (JAMA) mengungkapkan kalau 87 persen penulis panduan obat mendapatkan pendanaan dari industri dan 59 persen di bayar oleh perusahaan obat yang berkaitan dengan panduan obat yang mereka tulis. Lebih baru lagi, ditemukan kalau obat Avandia yang berfungsi mengobati diabetes ternyata memiliki efek samping peningkatan resiko serangan jantung. Kenapa obat ini bisa lolos. Ternyata kemungkinan para penulis artikel jurnal ilmiah medis yang mendukung efektivitas obat ini didanai oleh perusahaan obat tersebut tiga hingga enam kali lipat lebih banyak dari ilmuan yang netral murni dari Universitas.

Dalam pembedahan juga demikian. Ambil contoh pembersihan karotid di arteri. Penelitian menunjukkan kalau teknik carotid endarterectomy berhasil mengurangi resiko stroke sekitar 1 hingga 5 persen dalam lima tahun. Walau begitu, justru hasil pembedahannya sendiri mampu meningkatkan resiko stroke, serangan jantung dan kematian sebesar 3 persen. Teknik bedah yang diajukan sebagai pengganti, stenting, malah harus di hentikan karena membunuh pasien sebagai mana dilaporkan dalam studi di Perancis tahun 2006 yang diterbitkan dalam New England Journal of Medicine. Studi lain juga menemukan kalau 4.7 persen pasien mengalami stroke atau kematian dalam empat tahun setelah pembedahan endarterectomy, dibandingkan dengan 6.4 persen mereka yang dibedah dengan teknik stenting.

Peran ekonomi sangat kuat. Para ilmuan farmasi yang bekerja di perusahaan obat mungkin tahu kalau obat yang mereka rancang ternyata tidak efektif atau memiliki efek samping fatal. Namun eksekutif perusahaan tidak mau tahu. Mereka mengintimidasi dan memaksa para ilmuan mengganti penafsirannya. Kasus yang mencuat ke permukaan dicontohkan pada kasus Mary E Money, seorang internis dari Hagerstown, Marylan. Ia sadar kalau beberapa pasiennya yang dirawatnya mengalami gejala gagal jantung. Ia meneliti dan menemukan penyebabnya, yaitu Avandia. Segera beliau menghubungi perusahaan produsen obat tersebut untuk memperingatkan hal ini. Perusahaan tersebut kemudian mengirim surat ke Kepala Rumah Sakit tempat Mary bekerja untuk memaksa Mary tutup mulut. Mary merasa sangat terintimidasi dan mencoba mempublikasikan hasil penelitiannya ke jurnal ilmiah. Namun ia tidak mendapatkan dukungan dari teman penelitinya sendiri.

Kasus Mary mencerminkan puncak dari sebuah gunung es. Sangat mudah bagi dokter untuk mengabaikan atau melewatkan bukti, khususnya bila perusahaan obat atau alat medis menggunakan teknik pemasaran yang agresif untuk menangkal laporan yang dapat merusak pasaran. Tahun 2002, JAMA melaporkan hasil sebuah studi besar yang disebut ALLHAT, atau Antihypertensive and Lipid Lowering Treatment to Prevent Heart Attack Trial. Penelitian ini memeriksa obat-obatan yang digunakan untuk menurunkan tekanan darah. Hasilnya mengejutkan, obat diuretik generik yang murah sama efektifnya dalam mengendalikan tekanan darah dan mencegah serangan jantung dibandingkan obat yang mahal dan bermerk.

Dokter itu Sendiri
Halangan lain datang dari dokter sendiri. Seorang dokter bukanlah seorang yang super jenius, mampu menghapal setumpuk ensiklopedia nama ilmiah anggota tubuh atau penyakit, gejala, diagnosis dan segala jenis obat dari sisi kimiawi, biologi dan fisikanya. Kepala mereka bisa meledak, sementara waktu terus menekan. Harga diri juga kadang bermain. Takut dibilang dokter yang tidak percaya diri karena melihat buku dan meminta waktu lama pada pasien. Kadang justru pasien malah ragu dengan dokter yang demikian, padahal ini jauh lebih baik dari pada semata menebak, berteori dan meneruskan tradisi pemberian obat. Alhasil, kadang pasien diberikan setumpuk obat yang kegunaannya bermacam-macam, padahal untuk menutupi ketidak tahuan sang dokter tentang penyakit yang diderita sang pasien.

Michael Wilkes, wakil dekan Pendidikan di Universitas California di Davis mengeluhkan kalau sebagian besar mahasiswa kedokteran tidak diajarkan cara berpikir kritis. Diantara yang sedikit ini adalah David Newman dari Mount Sinai. Ia terkejut saat masuk kuliah kedokteran saat ia bertanya pada seniornya, ternyata para seniornya yang telah bertahun-tahun menjadi dokter, memberikan jawaban yang semata berbentuk opini tanpa basis fakta.

Adanya kondisi ilmiah ini membuat studi kedokteran yang menggunakan metode meta analisis tampaknya merupakan metode yang tidak berguna. Studi meta analisis pada dasarnya adalah studi yang meninjau sebanyak mungkin studi, artinya ia sebuah Tinjauan Literatur belaka. Apa jadinya jika seorang ilmuan kedokteran dengan berbekal penelitian meta analisis mengklaim kalau mayoritas penelitian menunjukkan tidak adanya efek samping suatu obat, padahal kenyataannya ada efek samping yang fatal.

Solusi
Solusi masalah ini terang benderang. Harus dilakukan reformasi kebijakan kesehatan dan pendidikan praktisi kesehatan. Calon dokter, perawat dan yang terkait harus diajarkan cara berpikir kritis dan menerapkannya dalam hidup sehari-hari. Pendanaan penelitian obat harus berada di tangan Universitas dan netral dari campur tangan perusahaan farmasi. Solusi lain dapat menyusul, seperti peradilan malpraktek dan sebagainya, tapi pendidikan dan kebijakan adalah dua hal yang paling penting.

Bagi kita para awam, hal ini tampaknya mimpi buruk abad pertengahan yang bangkit kembali. Apa bedanya dokter dengan dukun kalau begitu? Well, tetap ada bedanya. Yang kita perlu adalah kebijaksanaan dan kemampuan berpikir kritis. Obat tradisional mungkin lebih manjur, tapi kita perlu bukti. Obat yang lebih mahal mungkin lebih manjur, tapi kita juga perlu bukti. Mungkin cukup bijak bagi saya untuk ke Puskesmas terlebih dahulu sebelum ke dokter. Di Puskesmas murah meriah dan seperti dalam penelitian di Amerika Serikat tadi, obat generik ternyata sama efektifnya dengan obat mahal.

Walau bagaimana pun, gambaran di atas adalah kondisi yang terjadi di Amerika Serikat. Mengenai Indonesia? Mungkin lebih baik, mungkin juga lebih buruk. Bagi anda yang menyimpulkan kalau Indonesia lebih buruk, terutama karena “Hei, negara maju seperti Amerika saja masih seperti itu, apalagi kita” maka anda harus berhati-hati.

Mungkin saran dari Sheldon Lipshutz, M.D, dokter yang berpengalaman lebih dari 40 tahun dapat berguna untuk anda. Sebelum anda memutuskan untuk menemui dokter, anda harus :
1. Memikirkan secara kritis keputusan tersebut, terutama akibatnya sebelum, saat, dan sesudah perawatan
2. Ingatlah kalau dokter tidak selalu benar
3. Rasa sakit adalah tanda bagian tubuh ada yang salah, karena itu kenali jenis-jenis penyakit
4. Bersiap-siaplah dengan kemungkinan terburuk
5. Buatlah rencana kesehatan dan periksa secara kritis alternatif lain selain dokter
6. Bekerja samalah dengan dokter bila memang jadi berkunjung ke dokter, karena diagnosa hanya dapat berhasil bila anda mau berterus terang dan bekerja sama
7. Setiap konsumsi obat memiliki pengaruh. Karenanya kenali obat anda
8. Anda harus lebih hati-hati lagi bila anda wanita
9. Dan anda juga harus memberi perhatian lebih pada anak-anak dan manula
10. Kenali tubuh anda sendiri

Sumber: Danish56


View the original article here

Sejarah Minuman Bir (Beer)



Bir adalah segala minuman beralkohol yang diproduksi melalui proses fermentasi bahan berpati dan tidak melalui proses penyulingan setelah fermentasi. Bir merupakan minuman beralkohol yang paling banyak dikonsumsi di dunia dan kemungkinan yang tertua. Selain itu, bir juga adalah minuman terpopuler ketiga di dunia, di bawah air dan teh


Di seluruh dunia, ada lebih dari 20.000 merek bir yang diolah dalam 180 cita rasa, mulai dari bir keras (ales), lagers, pilsner dan bir hitam sampai bir pahit, cream ales dan iced beers.


Bir telah menjadi minuman terkenal sejak lama. Prasasti tanah liat di Babilon menjelaskan dengan rinci resep pembuatan bir di tahun 4.300 sebelum masehi. Bir juga telah dibuat oleh bangsa Cina kuno, Asiria dan Inka.


Sebuah tulisan di Mesir pada tahun 1600 sebelum masehi menuliskan 100 resep pengobatan dengan menggunakan bir. Beberapa tahun yang lalu, New Castle Brewery di Inggris mengolah 1.000 botol Tutankhamun Ale berdasarkan sebuah resep kuno yang telah berumur 3.200 tahun yang ditemukan di kuil matahari Ratu Nefertiti


Pembuatan bir secara komersil dimulai di tahun 1200 masehi di suatu tempat yang dikenal sebagai Jerman saat ini. Di tahun 1506, Undang-undang Jerman tentang kemurnian dikeluarkan, mensyaratkan bahwa kandungan bir adalah hanya air, barley (sejenis tumbuhan semacam gandum), gandum dan buah hop. Pembotolan bir dimulai di tahun 1605.


Proses pembuatan bir



Bir dibuat dalam suatu proses yang mengubah air dan bebijian dengan memakai ragi sebagai katalis. Mutu dari air yang digunakan sangatlah penting. Air yang pekat akan menghasilkan bir dengan rasa yang lebih tajam, air yang tidak begitu pekat akan menghasilkan bir dengan rasa lebih ringan. Barley atau buah hop, atau kombinasi keduanya digunakan bahan bebijian.


Bebijian kering yang siap untuk proses fermentasi disebut sebagai malting. Bebijian itu kemudian direndam didalam air hingga muncul kecambahnya. Proses kecambah ini tidak boleh dibiarkan menerus tapi harus segera dikeringkan atau dijemur


Barley



Barley telah dipilih sebagai bahan utama pembuatan bir semenjak ribuan tahun yang lalu. Semakin lama barley hasil proses malting itu dipanggang, maka akan semakin pekat bir yang dihasilkan. Barley, atau bir gandum memiliki rasa yang manis.


Buah Hop



Buah hop adalah sejenis tumbuhan merambat seperti pohon anggur, dan bentuknya mirip persilangan buah pinus dan buah artichokes. Rasa pahit dan kesat pada buah hop akan menyeimbangkan dengan rasa manis malt.


Ragi



Gula yang terkandung bebijian hasil malt diubah menjadi alkohol dengan proses peragian. Peragian yang berbeda akan menghasilkan aroma yang berbeda. Untuk jenis ales, proses peragian dilakukan dibagian atas, sedangkan proses peragian di bagian bawah akan menghasilkan jenis lagers.


Pembuatan bir dimulai dari pengecambahan bebijian dan merendam hasil malt dalam air panas untuk mendapatkan saripatinya. Saripati itu kemudian dididihkan dan ditambahkan buah hop. Baru setelah itu ditambahkan ragi untuk fermentasinya Setelah fermentasi, campuran itu dimasukan kedalam gentong hingga mencapai kondisi matang. Ragi dan buah hop dapat ditambahkan kembali pada proses fermentasi yang kedua.



Proses pembuatan bir disebut brewing. Karena bahan yang digunakan untuk membuat bir berbeda antara satu tempat dan yang lain, maka karakteristik bir seperti rasa dan warna juga sangat berbeda baik jenis maupun klasifikasinya. Kadar alkohol bir biasanya berkisar antara 4-6 % abv (alcohol by volume; alkohol berdasarkan volume), meski ada pula yang serendah kurang dari 1% abv maupun yang mencapai 20% abv.


Bir merupakan salah satu minuman tertua yang dibuat manusia yang tercatat di sejarah tertulis Mesir Kuno dan Mesopotamia. Karakter bir telah berubah secara drastis sepanjang ribuan tahun. Industri pembuatan bir merupakan industri global yang sangat besar, dan sekarang ini kebanyakan dikuasai oleh konglomerat yang dibentuk dari gabungan pengusaha-pengusaha yang lebih kecil. Walaupun secara umum bir merupakan minuman beralkohol, ada beberapa variasi dari dunia Barat yang dalam pengolahannya membuang hampir seluruh kadar alkoholnya, menjadikan apa yang disebut dengan bir tanpa alkohol.


Sumber: wikipedia/didyouknow.cd


View the original article here

KPK Minta Moratorium Remisi Koruptor Ditindaklanjuti

Komisi Pemberantasan Korupsi
Kemenkum dan HAM untuk sementara telah memutuskan menghapus kebijakan pemberian remisi kepada para narapidana kasus korupsi. Hal ini menyusul protes keras dari publik atas pemberian remisi kepada para koruptor pada Hari Raya Idul Fitri dan HUT RI beberapa waktu lalu.

Kendati demikian kebijakan ini harus ditindaklanjuti agar bisa berlaku efektif. Sebab aturan pemberian remisi telah diatur dalam UU Pemasyarakatan. Sehingga berpotensi memicu tumpang tindih aturan.

“Moratorium itu kan sifatnya sementara. Sehingga harus dibuat lagi aturan yang baru,” ujar Juru Bicara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Johan Budi SP di Jakarta, Senin (31/10/2011).

Johan mengaku pihaknya telah mengutarakan permintaan ini dalam pertemuan antara pimpinan KPK dan Menkum HAM tadi siang.

Selain usulan mengenai tindak lanjut moratorium remisi kepada koruptor KPK juga meminta kepada Menkum HAM untuk segera menyikapi adanya inisiatif dari DPR untuk merevisi UU No 30/2002. “Jangan sampai revisi ini justru malah mengurangi kewenangan KPK, karena tren di dunia itu badan korupsi justru diperkuat,” tegasnya.
(ful)

View the original article here

Take a walk in the park with Street View

Whether you’re planning a trip to a park around the block or around the world, you’ll now find more parks showing up in Street View. Over the past year, the Street View team, equipped with the Street View trike, traveled to 22 different countries to photograph some of the world’s most beautiful and unique parks. Starting today, you can explore the couple hundred new special collections we’ve added by visiting our gallery.

You can now tour High Line, which sits 30 feet in the air, over the bustling streets of New York City. The park sits on an elevated freight train spur that spans 1.5 miles and cuts through the western side of Manhattan. Because of Robert Hammond and Joshua David’s efforts, visitors can experience an innovative park that would have otherwise been a demolished urban structure.



You can tour the park in Street View here:


Across the pond, you can visit Kensington Gardens in London. Once privately owned by Kensington Palace, the majestic arbor skyline and delicate flower beds draw locals and tourists alike. Kensington Gardens is also dotted with famous statues, such as Peter Pan, and home to the idyllic Serpentine Bridge.


Community parks are where we take our evening stroll, play sports on weekends and picnic with friends. Koganei Park in Tokyo, Japan is one such place, especially during the cherry blossom season—a charming park beloved by photographers, joggers and romantics.


You can see more Street View special collections in this gallery or get inspired to travel with this video.



(Cross-posted from the Lat Long Blog)

Huaxi Skyscraper - this is 100% nuts !

Please read this - I do not think that this will be that successful - or am I totally wrong ? And see the video afterwards. This "thing"was opened in early October 2011 - I will follow up on the status of success.
This is from "The Guardian":
quote
Huaxi: the village that towers above China
Until recently, Huaxi was a poor farming community, typical of eastern China. Now, thanks to the ambition of one man, it is a powerhouse symbol of the country's economic expansion, embodied by a giant 328m-tall tower.
An incongruous new sight has risen up in the countryside of eastern China: a skyscraper taller than any building in London or Tokyo, topped by what looks very much like a giant, golden disco ball. The 328-metre supertower, which juts out of the Jiangsu plains like a trophy on an empty shelf, will be opened on Saturday by the village of Huaxi, a communist model community with a registered population of just 2,000 "farmers".
Having been built up to the heavens during a period of global economic collapse, the megatower will be heralded as the latest symbol of China's extraordinary economic expansion. But this bizarre new addition to the landscape also speaks volumes about the land pressures, environmental stress, inequality and rash investment that threaten the country's long-term growth.
The skyscraper will primarily be used as a gourmet dining hall and luxury hotel. Though many of those who live in its shadow earn less than £10 a day, there is no attempt to hide the wealth gap. From a gold leaf-covered reception to a 60th floor inlaid with genuine flakes of gold, the building exudes wealth and excess. Its proudest feature is a one-tonne, solid gold statue of an ox, said to be worth 300m yuan (£31m).
The mega-statistics do not stop there. With 826 bedrooms and dining facilities for 5,000 guests – including southern China's biggest banquet hall – there is almost enough space to accommodate and feed all of the original village residents at a single sitting.
It is the brainchild of Wu Renbao, the driving force behind Huaxi's 40-year transition from a small village to a multibillion-dollar conglomerate with interests in steel, shipping, tobacco and textiles. By turns a communist dictator, capitalist entrepreneur and self-help guru, the 84-year-old is among China's most colourful characters. He is praised for turning Huaxi into one of the richest villages in China and enriching the original residents with annual shares, dividends and free overseas trips. He is also criticised for turning the community into a family fiefdom, in which workers get no holidays and his relatives get the best posts.
He has created a hierarchy largely determined by closeness to the Wu clan. Those from the original 2,000 Huaxi families are at the top of the pyramid. Next come the 35,000 residents from neighbouring villages that have been swallowed up by Huaxi's expansion. At the bottom are 20,000 newly arrived migrants, who provide labour for the factories on 12-hour shifts without weekend breaks. The monthly salaries of 3,000 yuan (£310) are better than average for low-skilled labour in China, but it is hardly a worker's paradise.
Wu is undoubtedly Huaxi's greatest draw. Coachloads of visitors – mostly cadres and retirees – turn up to listen to the 10.30am lecture he delivers every day in a village auditorium that has been decked out to resemble the Great Hall of the People in Beijing. His close connections to the central government ensure supportive policies – for example, planning permission to build a 72-storey skyscraper in an area where the next-biggest building in less than 20 floors tall. Wu says he looked to the mega-cities of the Middle East for inspiration. "This tower is my idea," the patriarch says in such a thick local accent that the interpreter needs an interpreter. "We learned from Dubai, but taking into account our domestic situation, we decided the height should be 328m. Why 328m? Because that is as tall as the highest building in Beijing." Chinese culture loads numbers with significance: 32 is associated with business and eight represents prosperity.
As village officials also proudly note in the invitation to the opening ceremony: "There are 209 countries that lack such a tall building." That includes the UK. Even the Shard London Bridge – which will be the tallest building in the EU when it is completed next year – is 18m shorter than Huaxi's new village centre.
Even for those used to the speed and scale of change in China, this is astonishing. The last time I visited Huaxi in 2005, it was building a cluster of giant pagodas, which then appeared outlandishly large compared to everything else in the village. Today, those same pagodas barely register in comparison to the supertower beside them, which pulsates in all the colours of the rainbow when night falls.
It is a tacky but impressive reminder of how far the village has come since the Mao era. That message is reinforced at the village museum, where old propaganda footage shows farmers breaking rocks, labouring in the fields and living in small, unfurnished homes. It is also evident in the small park, which preserves Wu's first factory, a whitewashed, single-storey building.
"We used to have a very difficult life. We lived in a thatched shed, ate bran and had nothing in our pockets," recalls Wu, whose message can be distilled to a drive for GDP growth. "I think it will never be wrong to expand the economy and make ordinary people rich. In our opinion, that is the priority."
This approach has worked for decades and never more so than during the past seven years, when Huaxi's sales have increased fivefold. But the skyscraper is a towering indicator that business as usual is no longer working. The 3.5bn yuan (£360m) investment is designed to attract tourists and new business to Huaxi as it attempts the leap from dirty industrial centre to an ecologically friendly service sector economy.
In making the transition from third-world village to first-world skyscraper, Huaxi is in many ways a microcosm of China. But the next step will be harder as it tries to cope with the declining competitiveness of its core industry, the inflated cost of land and worries about the environment. In this case, an even wider comparison can be drawn: like the global economy, Huaxi may be bumping up against limits to growth.
Until recently, the village earned half of its income from the iron and steel industry. But today, this has fallen to less than a third. This collapse is due to rising material costs, the expansion of rival firms and falling demand both overseas and in China. "This is the worst situation I have experienced," says Yang Yongchang, who has been general manager of the Jiangyin Huaxi Iron and Steel Company for eight years. "It will get worse in the future. People in this industry are panicking." He says Huaxi is planning to move the factory so it can reinvent itself as a tourist resort and commodities-trading hub. "We're trying to build an ecological village that looks like a forest garden," he says.
The costs of fast, dirty, old-style economic growth can no longer be ignored. Wu Yunfang, the head of environmental affairs in the local communist party, says the village has recently shut down five chemical and textile factories that once used to discharge pollutants into the local Changjiagang river. She estimates the value of the lost production at 150m yuan (£15m), which adds up to a significant environment bill along with the 350m yuan (£36m) spent on emissions scrubbing and wastewater treatment.
Territorial expansion is also becoming more expensive. In the past two decades, Huaxi swallowed 12 neighbouring villages as its industry and influence sprawled outwards. It is not officially a merger. The official terminology is that the villages are "united under Huaxi", but the reality is far more like a corporate takeover. Huaxi paid an annual fee to the surrounding villages and in return it gained control of economic management, land use decisions, labour issues and political appointments.
The loss of independence is worthwhile, according to Zhang Zhongxian, the former head of Xixiang village, who is now working for Huaxi's labour federation. Since his community was subsumed by Huaxi in 2002, Zhang estimates that average annual incomes have more than tripled, welfare for the elderly and disabled has improved and homes and roads have been upgraded. "In five to 10 years, we will be where Huaxi is now," Zhang says. "Many other villagers want to join. Even some from other provinces."
But land costs have risen dramatically. Huaxi's village chief, Wu Xie'en – the son of Wu Renbao – said this was a major factor in the decision to build the tower, which has been dubbed "a village in the air". "With the completion of this building, we can save a vast expanse of land. In China, the trend now is to build tall because the more the economy develops, the more space is needed. Where is the space for China in the future? We must look to the sky." The party secretary says he wants to turn the "city village" of Huaxi into a Shangri-la. "My father made people rich. Now I want to make them healthy and happy," he says.
The tower seems an odd way to do this. But the Wus argue that they have succeeded over the years by anticipating changes in the economic wind and gambling big on the outcome. They are trying again this time. Just in case, the outside world fails to notice, Huaxi has invited the international media to the village's 50th anniversary celebration on Saturday, when its skyscraper will be officially unveiled. To give visitors a better view, villagers have started a helicopter business – a first step in a planned expansion into commercial aviation and high-end tourism.
If anywhere in China can find new areas of economic expansion it is Huaxi. But even with the political connections and business nous, it is hard to imagine that the village will reinvent itself as a tourist centre – particularly given the advanced age of the retired party secretary who is its main attraction.
But Huaxi has proved its doubters wrong in the past. Ahead of the opening of their new skyscraper, the mood on the streets was optimistic. In the evening, locals, neighbours and migrants gather to dance on the village square, a huge expanse of concrete between 15-storey pagodas that pulsate pink, blue, green and yellow. One migrant labourer from the steel factory, who declined to give his name, said the tower would help the economy and create new opportunities. "Nobody would invest so much money in something that wasn't sure to be a success, right?"
unquote

Gmail’s new look

Back in July we showed you a preview of Gmail's new look, and we’ve been working this summer to make even more updates and improvements. Today, we’re giving you an in-depth look at the new design. If you like what you see, over the next few days you’ll be able to switch to the new look by clicking on Switch to the new look in the bottom-right of Gmail.


Streamlined conversations
Conversation view has been completely redesigned to help you read through your email threads. You’ll now see profiles pictures for your contacts, so it’s easier to keep track of who said what. We also stripped out as much as possible so you can focus on communicating with your friends and colleagues.


Elastic density
We know that you use Gmail from a variety of screen sizes and devices, so now the spacing between elements on the screen will automatically change based on the kind of display you’re using. If you prefer a denser view all the time, you can change your density manually in the Settings menu.


New HD themes
Themes have been completely rebuilt to enable us to bring you a new set of beautiful high resolution themes with imagery provided by iStockphoto. We've updated most of the old favorites as well and your theme will be automatically carried over to the new look. Go to the Settings menu to take another look at themes and choose the one that fits you best.


Smarter navigation
The navigation panel on the left keeps your labels and chat contacts in view at all times. It's also more customizable: you can resize the labels and chat areas if you want to see more, or hide the chat area entirely via the chat icon in the lower left. You can also use the arrow keys to navigate around the interface.


Better search
Click the dropdown in the search box to see a new advanced search panel, which makes it easier and faster to find exactly what you're looking for. You can use the same panel to create a filter from any search in just a few clicks.


We’re excited to finally share Gmail’s new look with you. We’ll be bringing these changes to everyone soon, but if you’d like to make the switch right away, we’re rolling out a Switch to the new look link in the bottom-right of Gmail over the next few days.



(Cross-posted from the Gmail Blog)

Chinese Men...............

seems to be a very special species: Especially if they are so-called officials of whatever small county, village etc. They have power and they abuse it: Taking advantages (bribes) whenever possible, being corrupt in the real meaning of this word. Besides this surely heavy drinking, big mouth attitude, cheating on their wives & families, beating others - simply said: They are above any law (in their idea / mind-set). Mostly they get in trouble because of some whistleblowing of envy, greedy compagnions or of the CCTV footage (which is almost everywhere in China) catching them during "action".
This one is from March this year - quite brutal. The guy in the red jacket is the security staff at this hotel.
Please read and then see the video by the CCTV of that hotel.
Yibin County [Sichuan province] group of men beating women exposed by surveillance camera, perpetrator suspected of being deputy captain of the traffic police. (This is the guy in black with the bag at his shoulder).
Truly completely lawless, barbaric, outrageous!!! Quoted from a discussion forum: They were caught off guard and completely amazed, subconsciously protecting themselves: “Why are you touching me? We are good girls, not out to sell ourselves.” The other party arrogantly replied: “So what if I touched you?” … Ultimately, it escalated into this scene.





update on the below: The said guy with the bag on his shoulder, the so-called "deputy captain of the traffic police"- it seems he rather tried to ease the trouble - he did not beat anybody - at least not seen on this CCTV footage. But it seems he is hanging around with the wrong kind of people.

And here a few days ago:
Female cadre uses real name to report being raped by county Disabled Persons’ Federation Chairman while drunk
Summary: Recently, Sichuan Pengan County a female Safety Supervision Bureau cadre using her real name claimed online that around noon on October 19th, she and the local Administration of Work Safety Deputy Director Zhang Sen and Pengan County Disabled Persons’ Federation Chairman Liu Xiquan were drinking together and after she became drunk, the two men carried her into a hotel then Li Xiquan raped her. In response, officials have expressed that they will seriously investigate this matter and at present, the relevant individuals involved have already been suspended and are under investigation.

Tsuchinoko “Ular Legendaris” Jepang



Tsuchinoko (???? ?) adalah hewan yang dilaporkan ada di Jepang tapi belum pernah bisa dibuktikan (cryptid). Bentuknya seperti ular namun berperut gendut mirip botol atau pin boling dengan ekor yang kecil mirip ekor tikus. Hewan ini dilaporkan pernah “dilihat” saksi mata di berbagai tempat di Jepang, kecuali di Hokkaido dan Kepulauan Ryukyu. Hingga kini, tsuchinoko belum pernah berhasil ditangkap masyarakat Jepang karena saksi mata menjadi takut, atau hewan ini lebih dulu melarikan diri.


Nama “Tsuchinoko” berasal dari nama lokal untuk “hewan” ini menurut penduduk daerah Kansai (Kyoto, Mie, Nara, dan Shikoku). Di daerah Kanto, penduduk menyebutnya sebagai bachihebi. Beberapa pemerintah daerah di Jepang menawarkan hadiah uang dalam jumlah besar bagi masyarakat Jepang yang berhasil menangkap tsuchinoko. Hadiah uang sebesar 100 juta yen pernah ditawarkan kota Itoigawa, Prefektur Niigata.


Pemerian


Saksi mata yang mengaku pernah “melihat” tsuchinoko melaporkan ciri fisik dan tingkah laku sebagai berikut:


* Dibandingkan dengan ular biasa, bagian perut sedikit agak gendut
* Kuat meloncat hingga sekitar 1 meter
* Suka minum sake
* Bisa berbunyi “chii”
* Bergerak dengan sangat cepat
* Cara bergerak seperti ulat atau menggulung diri sambil menggigit bagian ekor dan berputar bagaikan roda
* Dari mulut menyemburkan api.


Sejarah


* Alat-alat dari batu berbentuk ular yang mirip tsuchinoko ditemukan dari situs arkeologi zaman Jomon di Hida, Prefektur Gifu. Gambar yang mirip tsuchinoko juga ditemukan pada bagian luar tembikar berbentuk guci yang berasal dari situs arkeologi di Prefektur Nagano.
* Tsuchinoko dijelaskan sebagai dewa padang rumput dalam literatur klasik Kojiki yang ditulis pada abad ke-8.
* Dalam ensiklopedia Wakan Sansai Zue asal zaman Edo, tsuchinoko ditulis dalam artikel berjudul Nozuchihebi (??? ?, ular palu ladang).


Ada 3 pendapat yang berbeda mengenai cara bergerak Tsuchinoko:


1. Tsuchinoko berjalan dengan menggigit buntutnya lalu berputar menggelinding kan tubuh nya



2. Tsuchinoko berjalan seperti ulat



3. Tsuchinoko berjalan dengan menggoyangkan tubuh nya ke kiri dan kanan



Tsuchinoko dalam bentuk aksesoris di Jepang



Tsuchinoko = Cerita Dongeng Jepang ?


Hewan mistik dari cerita dongeng atau mitos Jepang sejak jaman dulu, rupanya sangat terkenal untuk dijadikan bahan pembicaraan.Tsuchinoko mempunyai bentuk seperti ular dengan panjang antara 30-80 cm dengan bagian tengah tubuhnya lebih lebar dari kepalanya dan mempunyai taring juga racun yang sama dengan ular.


Berdasarkan cerita legenda, tsuchinoko mempunyai kemampuan berbicara dengan manusia dan cenderung sering berbohong. Beberapa juga percaya kalau Tsuchinoko menyukai alkohol dan sanggup meloncat sejauh 1 meter.


Apakah tsuchinoko benar-benar ada? Selama ini belum pernah ada orang yang mendapatkan bukti fisiknya, meskipun sudah ribuan orang dari seluruh Jepang melaporkan pernah melihatnya


Penjelasan yang masuk akal



Kadal lidah biru (Tiliqua scincoides) dari genus Tiliqua yang memiliki kaki sangat kecil


Kemungkinan besar, masyarakat Jepang hanya salah melihat saja. Perut ular yang baru saja menelan mangsa berukuran besar akan membesar seperti sosok tsuchinoko yang dilaporkan saksi mata. Selain itu, tsuchinoko mirip dengan kadal genus Tiliqua yang masuk ke Jepang sebagai hewan peliharaan sejak sekitar tahun 1970-an. Kadal tersebut memiliki kaki yang kecil dan hampir tidak terlihat, sehingga di tengah kerimbunan dapat disangka sebagai tsuchinoko.


Referensi:
^ “”Tsuchinoko hokaku ni 1 oku en”, Itoigawa de sankasha boshu (“???????1??”??????????)”, Daily Yomiuri, 14 Mei 2007
Wikipedia


View the original article here

Susah Tidur Menjadi Risiko Serangan Jantung

Ilustrasi Tidur
Ini adalah peringatan bagi mereka yang kerap sulit tidur atau sering terbangun dari tidur di malam hari. Studi terbaru para ahli di Norwegia menyatakan, mereka yang mengalami kesulitan tidur nyenyak pada malam hari berisiko lebih besar mengalami serangan jantung.

Sejauh ini, hubungan antara insomnia dan meningkatnya risiko serangan jantung memang belum jelas. Tetapi yang pasti, gangguan tidur berdampak pada tekanan darah dan inflamasi, di mana keduanya merupakan faktor risiko serangan jantung.

"Ketika gejala insomnia menjadi hal biasa dan mudah untuk diobati, penting artinya bagi masyarakat mewaspadai hubungan insomnia dan serangan jantung, dan berkonsultasi dengan dokter jika mengalami gangguan tidur," kata Dr. Lars Erik Laugsand, internis dari Norwegian University of Science and Technology di Trondheim.

Laugsand menegaskan, temuan yang dipublikasi dalam jurnal Circulation edisi 24 Oktober ini hanyalah bukti adanya keterkaitan dan bukan hubungan sebab-akibat. Riset lanjutan perlu dilakukan untuk mengungkap lebih jauh tentang mekanisme dibalik hubungan ini.

Dalam penelitiannya, Laugsand menganalisa data kesehatan tidur sekitar 53.000 pria dan wanita peserta survei antara 1995-97. Terungkap pula bahwa 2.400 responden mengalami serangan jantung selang 11 tahun kemudian.

Peneliti menemukan, mereka yang hampir setiap hari kesulitan tidur mengalami peningkatan risiko 45 persen serangan jantung, dibanding responden yang tak bermasalah untuk tidur lelap. Selain itu, mereka yang tidurnya tidak nyenyak atau sering terjaga di malam hari juga berisiko 30 persen lebih tinggi ketimbang yang tidurnya nyenyak. Sedangkan mereka yang merasa badannya tidak segar/bugar setelah tidur malam mengalami peningkatan risiko serangan jantung sebesar 27 persen ketimbang yang merasa bugar.

Dalam riset ini, peneliti memperhitungkan beragam faktor seperti usia, jenis kelamin, seks, status perkawinan,tingkat pendidikan, tensi, kadar kolesterol, diabetes, berat badan, olahraga, pola kerja shift. Gejala depresi dan kecemasan sebagai pemicu insomnia juga turut diperhitungkan.

Dr. Gregg Fonarow, professor kardiologi dari University of California, Los Angeles sekaligus jurubicara American Heart Association (AHA), mengatakan sejumlah studi sebelumnya telah mengungkap bahwa gangguan tidur memang berkaitan dengan risiko serangan jantung yang lebih tinggi.

"Studi-studi lama juga mengungkap hasil beragam, akan tetapi belum dapat mengungkap mengapa tidur sehat membuat jantung lebih sehat," ujar Fonarow. Sedangkan Dr. Edward A. Fisher, profesor pengobatan kardiovaskuler pada NYU Langone Medical Center di New York City menyatakan, salah satu penjelasan yang mungkin dari temuan ini adalah berubahnya proses metabolisme tubuh. Dalam tubuh, metabolisme diatur oleh ritme sirkadian yang tentu sangat bervariasi di antara siklus tidur setiap individu.

"Telah diketahui bahwa binatang yang ritme sirkadiannya diganggu bakal mengalami perubahan metabolisme. Jika ini terjadi pada manusia, maka akan meningkatkan risiko sakit jantung," papar Fisher.


View the original article here

Alasan Mengapa Shopping Membuat Bahagia?

Happy Shopping
 Berkeliling mal dan berbelanja sering menjadi pilihan banyak orang, khususnya wanita, untuk mengembalikan mood-nya. Aktivitas yang disebut juga dengan retail therapy ini bahkan kepuasannya disejajarkan dengan seks.

Para peneliti dari Universitas Westminster di London, Inggris, menemukan bahwa pada perempuan, aktivitas shopping mengaktifkan area tertentu di otak yang juga akan aktif saat sedang berhubungan seks.
"Shopping menyebabkan kita berinteraksi dengan dunia dan mengeksplorasi ketertarikan. Membeli barang yang kita sukai juga menggambarkan kita menghargai diri sendiri," kata April Lane Benson, penulis buku To Buy or Not to Buy: Why We Overshop and How to Stop.
Ia menjelaskan, kegiatan berbelanja seharusnya dilakukan secara sadar. Tanyakan pada diri secara jujur apakah kita memiliki waktu, energi, uang, dan pengalihan emosi.

"Shopping seharusnya tidak dipakai untuk mengisi kekosongan di hati. Cara ini tak akan berhasil dan akan menjauhkan kita dari kesadaran apa yang sesungguhnya dibutuhkan dan cara mendapatkannya," katanya.

Walau pun shopping bisa mendatangkan bahagia, tapi jika hanya meninggalkan utang kartu kredit, kebahagiaan itu tak akan bertahan lama. Apalagi, sebagian besar orang membeli barang-barang yang tidak dibutuhkannya.
"Ingatlah bahwa kita tak akan pernah merasa cukup pada apa yang sebenarnya tidak dibutuhkan," katanya.

View the original article here