MAKASSAR - Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar dan mitra merilis hasil monitoring tiga kasus pidana korupsi yang ditangani di Kejaksaan Negeri (Kejari) Makassar. Dari tiga kasus tersebut, LBH berkesimpulan Kejari belum serius menangani penuntasan kasus korupsi.
Tiga kasus yang menjadi pusat monitoring LBH adalah kasus pembebasan lahan pembangunan kampus Politeknik Ilmu Pelayaran (PIP) Makassar dengan empat terdakwa, kasus pungutan liar di Pasar Pabaeang-baeng satu terdakwa dan kasus dugaan korupsi di Dinas Pekerjaan Umum (PU) Makassar dengan dua terdakwa. Ketiga kasus tersebut melibatkan uang miliaran rupiah.
Hadir sebagai pembicara, Irwan Muin selaku aktifis hukum Sulsel bersama Anwar Reza serta Ketua Bidang Advokasi LBH Makassar Haswandi Andi Mas di Rally Cafe Jalan AP Pettarani yang dihadiri pula sejumlah pemerhati hukum dan mahasiswa di Makassar. Monitoring mereka lakukan sejak kasus ini mulai ditangani kejaksaan hingga memasuki tahap putusan.
Beberapa catatan hasil monitoring LBH tersebut menyudutkan Kejaksaan sebagai pintu utama masuknya kasus-kasus ini ke Pengadilan. Salah satu yang mendasar, Kejaksaan dinilai belum kuat dan tidak memahami lebih jauh tentang undang-undang tindak pidana korupsi nomor 31 tahun 1999.
Irwan Muin yang juga seorang pengacara mengatakan, dari tiga kasus tersebut, rata-rata terdakwa hanya dikenai pasal 2 dan 3. “Padahal ada pasal lebih utama dari itu, yakni pasal 37a tentang pembuktian terbalik dan pasal 18 tentang perampasan secara paksa aset terdakwa,” tuturnya, Minggu (30/10/2011).
Itulah yang menurut Irwan yang membedakan kejaksaan dengan Komisi Pemberantasa Korupsi (KPK) dimana KPK lebih mengutamakan pengembalian kerugian negara, sementara kejaksaan lebih dominan mengupayakan tersangka korupsi tersebut dipenjara. “Padahal esensi undang-undang tipikor adalah pengembalian kerugian negara,” ujar Irwan.
Selain itu, Irwan juga melihat kelemahan jaksa dalam melakukan penuntutan, dimana selalu mengupayakan tuntutan minimal. “Jika demikian tidak salah jika hakim yang menangani satu kasus akan memvonis bebas terdakwa korupsi karena hakim juga berpatokan pada tuntutan dan dakwaan jaksa,” imbuhnya.
“Saya malah takutnya, di Makassar akan muncul jaksa-jaksa seperti Sirus Sinaga lain, karena bayang-bayang kesana muncul kepermukaan,” kata Irwan.
Anwar Reza juga melihat demikian, bahkan menurut Anwar jaksa tidak antusias dalam menjerat orang-orang yang terlibat dalam satu kasus selain terdakwa.
“Seperti kasus pasar Pabaeang-baeng, jaksa sudah harusnya tahu jika pidana korupsi itu tidak mungkin dilakukan hanya seorang, namun nyatanya Jamaluddin Yunus sebagai tersangka tunggal, petunjuk-petunjuk di persidangan pun tidak mempu dikembangkan oleh jaksa,” tuturnya.
Saksi yang harusnya dihadirkan dalam kasus tersebut pula dinilai Anwar belum mampu dihadirkan kejaksaan. “Padahal bisa saja dari saksi tersebut, terkuak satu fakta lain,” kata dia yang mempertanyakan Wali Kota Makassar Ilham Arief Sirajuddin dan Sekertaris Kota Anis Zakaria Kama yang tidak pernah hadir dipersidangan. Padahal SK yang menjerat Jamaluddin itu lahir dari sepengetahuan mereka.
Anwar menilai, kasus pungutan liat Pabaeng-baeng adalah kasus yang terang menderang. “Ada bukti pungutan liar, ada yang memungut, ada surat perintah pemungutan, namun hanya satu terdakwa, ini sudah menjadi tanda tanya besar atas kinerja kejaksaan,” tutur Anwar tanpa membela Jamaluddin Yunus.
Melihat banyaknya kekurangan kejari Makassar dalam penuntasa tiga kasus korupsi tersebut membuat Ketua Bidang Advokasi LBH Makassar Haswandi Andi Mas akan melakukan upaya-upaya hukum lebih tinggi. “Kami akan laporkan temuan-temuan ini ke Komisi III dan Komisi Kejaksaan,” ujarnya.
Namun tudingan dari LBH itu mendapat sanggahan dari Kepala Kejari Makassar Haruna yang dihubungi SINDO secara terpisah. Menurut Haruna, ketiga kasus tersebut belum bisa dikatakan terdapat kelemahan karena masih dalam proses hukum.
“Kasus PIP kami ajukan banding, kasus PU masih berjalan dipersidangan begitu pula kasus pungutan liar di pasar Pabaeng-baeng kami ajukan banding, karena putusan hakim masih sangat rendah dari tuntutan jaksa dan kami tidak setuju dengan itu,” ujarnya.
Masalah penerapan pasal pembuktian terbalik dan perampasan aset secara paksa diakui Haruna memang masih sangat lemah di tubuh kejaksaan. Namun tidak melupakan pasal tersebut sama sekali, tetap akan mengupayakan pasal ini berjalan sebagaimana mestinya.
“Kami tetap mengupayakan kerugian negara itu dikembalikan, dan nyatanya ketiga kasus ini kerugian negara sudah kembali hampir 100 persen,” belanya.
Sebagai gambaran, kasus PIP Makassar dari empat terdakwa tiga diantaranya sudah divonis satu tahun penjara, satunya lagi masih menunggu lantaran terdakwa melaksanakan ibadah haji. Tidak ada ganti rugi dalam kasus ini, namun uang sebesar Rp9 miliar lebih, yang ditemukan direkening pribadi salah satu terdakwa telah diamankan kejaksaan. Majelis hakim menyatakan kerugian negara dalam kasus ini sebesar Rp13 miliar.
Kasus pungutan liar pasar Pabaeng-baeng juga sudah vonis, dan menyatakan Jamaluddin Yunus bersalah atas lahirnya SK 900 tentang pungutan pembagian kios dengan jumlah pungutan liar sebesar Rp862 juta, namun yang diamankan kejaksaan hanya Rp350 juta. Sementara kasus Dinas PU Makassar masih tahap replik duplik di pengadilan, dengan dua terdakwa dalam kasus ini.
(Rahmat Hardiansya/Koran SI/lam)
Tiga kasus yang menjadi pusat monitoring LBH adalah kasus pembebasan lahan pembangunan kampus Politeknik Ilmu Pelayaran (PIP) Makassar dengan empat terdakwa, kasus pungutan liar di Pasar Pabaeang-baeng satu terdakwa dan kasus dugaan korupsi di Dinas Pekerjaan Umum (PU) Makassar dengan dua terdakwa. Ketiga kasus tersebut melibatkan uang miliaran rupiah.
Hadir sebagai pembicara, Irwan Muin selaku aktifis hukum Sulsel bersama Anwar Reza serta Ketua Bidang Advokasi LBH Makassar Haswandi Andi Mas di Rally Cafe Jalan AP Pettarani yang dihadiri pula sejumlah pemerhati hukum dan mahasiswa di Makassar. Monitoring mereka lakukan sejak kasus ini mulai ditangani kejaksaan hingga memasuki tahap putusan.
Beberapa catatan hasil monitoring LBH tersebut menyudutkan Kejaksaan sebagai pintu utama masuknya kasus-kasus ini ke Pengadilan. Salah satu yang mendasar, Kejaksaan dinilai belum kuat dan tidak memahami lebih jauh tentang undang-undang tindak pidana korupsi nomor 31 tahun 1999.
Irwan Muin yang juga seorang pengacara mengatakan, dari tiga kasus tersebut, rata-rata terdakwa hanya dikenai pasal 2 dan 3. “Padahal ada pasal lebih utama dari itu, yakni pasal 37a tentang pembuktian terbalik dan pasal 18 tentang perampasan secara paksa aset terdakwa,” tuturnya, Minggu (30/10/2011).
Itulah yang menurut Irwan yang membedakan kejaksaan dengan Komisi Pemberantasa Korupsi (KPK) dimana KPK lebih mengutamakan pengembalian kerugian negara, sementara kejaksaan lebih dominan mengupayakan tersangka korupsi tersebut dipenjara. “Padahal esensi undang-undang tipikor adalah pengembalian kerugian negara,” ujar Irwan.
Selain itu, Irwan juga melihat kelemahan jaksa dalam melakukan penuntutan, dimana selalu mengupayakan tuntutan minimal. “Jika demikian tidak salah jika hakim yang menangani satu kasus akan memvonis bebas terdakwa korupsi karena hakim juga berpatokan pada tuntutan dan dakwaan jaksa,” imbuhnya.
“Saya malah takutnya, di Makassar akan muncul jaksa-jaksa seperti Sirus Sinaga lain, karena bayang-bayang kesana muncul kepermukaan,” kata Irwan.
Anwar Reza juga melihat demikian, bahkan menurut Anwar jaksa tidak antusias dalam menjerat orang-orang yang terlibat dalam satu kasus selain terdakwa.
“Seperti kasus pasar Pabaeang-baeng, jaksa sudah harusnya tahu jika pidana korupsi itu tidak mungkin dilakukan hanya seorang, namun nyatanya Jamaluddin Yunus sebagai tersangka tunggal, petunjuk-petunjuk di persidangan pun tidak mempu dikembangkan oleh jaksa,” tuturnya.
Saksi yang harusnya dihadirkan dalam kasus tersebut pula dinilai Anwar belum mampu dihadirkan kejaksaan. “Padahal bisa saja dari saksi tersebut, terkuak satu fakta lain,” kata dia yang mempertanyakan Wali Kota Makassar Ilham Arief Sirajuddin dan Sekertaris Kota Anis Zakaria Kama yang tidak pernah hadir dipersidangan. Padahal SK yang menjerat Jamaluddin itu lahir dari sepengetahuan mereka.
Anwar menilai, kasus pungutan liat Pabaeng-baeng adalah kasus yang terang menderang. “Ada bukti pungutan liar, ada yang memungut, ada surat perintah pemungutan, namun hanya satu terdakwa, ini sudah menjadi tanda tanya besar atas kinerja kejaksaan,” tutur Anwar tanpa membela Jamaluddin Yunus.
Melihat banyaknya kekurangan kejari Makassar dalam penuntasa tiga kasus korupsi tersebut membuat Ketua Bidang Advokasi LBH Makassar Haswandi Andi Mas akan melakukan upaya-upaya hukum lebih tinggi. “Kami akan laporkan temuan-temuan ini ke Komisi III dan Komisi Kejaksaan,” ujarnya.
Namun tudingan dari LBH itu mendapat sanggahan dari Kepala Kejari Makassar Haruna yang dihubungi SINDO secara terpisah. Menurut Haruna, ketiga kasus tersebut belum bisa dikatakan terdapat kelemahan karena masih dalam proses hukum.
“Kasus PIP kami ajukan banding, kasus PU masih berjalan dipersidangan begitu pula kasus pungutan liar di pasar Pabaeng-baeng kami ajukan banding, karena putusan hakim masih sangat rendah dari tuntutan jaksa dan kami tidak setuju dengan itu,” ujarnya.
Masalah penerapan pasal pembuktian terbalik dan perampasan aset secara paksa diakui Haruna memang masih sangat lemah di tubuh kejaksaan. Namun tidak melupakan pasal tersebut sama sekali, tetap akan mengupayakan pasal ini berjalan sebagaimana mestinya.
“Kami tetap mengupayakan kerugian negara itu dikembalikan, dan nyatanya ketiga kasus ini kerugian negara sudah kembali hampir 100 persen,” belanya.
Sebagai gambaran, kasus PIP Makassar dari empat terdakwa tiga diantaranya sudah divonis satu tahun penjara, satunya lagi masih menunggu lantaran terdakwa melaksanakan ibadah haji. Tidak ada ganti rugi dalam kasus ini, namun uang sebesar Rp9 miliar lebih, yang ditemukan direkening pribadi salah satu terdakwa telah diamankan kejaksaan. Majelis hakim menyatakan kerugian negara dalam kasus ini sebesar Rp13 miliar.
Kasus pungutan liar pasar Pabaeng-baeng juga sudah vonis, dan menyatakan Jamaluddin Yunus bersalah atas lahirnya SK 900 tentang pungutan pembagian kios dengan jumlah pungutan liar sebesar Rp862 juta, namun yang diamankan kejaksaan hanya Rp350 juta. Sementara kasus Dinas PU Makassar masih tahap replik duplik di pengadilan, dengan dua terdakwa dalam kasus ini.
(Rahmat Hardiansya/Koran SI/lam)
View the original article here